Menapaki Jaipong ala Jatinegara
10 October 2009 – oleh Dewi Aliyah
Goyangan Jaipong memang mengasyikkan, dengan daya erotisnya dia mampu memikat malam yang dingin dan sunyi untuk terus membara di bilangan underpass Jatinegara. Bagaimana selanjutnya?
Jaipongan adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Ia terinspirasi pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat mengembangkan tarian atau kesenian yang kini di kenal dengan nama Jaipongan.
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri).Awal kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai gerakan yang erotis dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media televisi, hajatan, maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh pemerintah atau oleh pihak swasta.
Selain di tempat-tempat yang telah ditulis di atas, di kawasan Timur Jakarta pun setiap hari diadakan pertunjukan tari Jaipong. Tepatnya di bawah kolong jembatan Jatinegara, tempat ini tidak pernah sepi, kecuali malam Jumat. Dari pukul 10 malam sampai dini hari para penari Jaipong dan pesinden asal Cikarang Jawa Barat ini memulai aksinya untuk menghibur para pengunjung setianya, seperti sopir angkot, sopir truk, tukang ojek, maupun penduduk sekitar.
Sejak pukul 8 malam mereka sudah memakai make up menor dan lengkap dengan segala aksesorisnya. Dengan diiringi suara gamelan Sunda bergantian dengan orkes dangdut yang keluar dari dentuman speaker, mereka menunjukkan tarian Sunda.
Dengan panggung kecil berukuran empat kali tiga meter persegi, dan setinggi paha orang dewasa inilah sang penari Jaipong melakukan aksinya untuk mengundang para penyawer. Mereka melakukan aksinya dimulai dari pukul 10 malam sampai pukul 2 dini hari, kalau hari Jumat, Sabtu, dan Minggu bisa sampai jam 4 dini hari.
Saweran diberikan kepada para pesinden yang kemudian oleh mereka disimpan di sebuah kotak berbetuk persegi panjang yang telah menunggu di samping si sinden, dan tak lupa untuk mereka catat berapa saweran yang mereka terima dalam satu catatan (buku tulis) yang juga telah mereka siapkan.
Para penyawer biasanya mulai menyawer saat tarian semakin semangat dilakukan. Saweran mulai dari 3ribu rupiah hingga 5ribu rupiah. Pendapatan para penari mulai dari 15ribu hingga 60ribu tergantung dari keramaian para pengunjung. Biasanya para penari dan pesinden panen uang pada malam Minggu dan malam Senin. Namun dalam beberapa bulan terakhir pendapatan mereka menurun drastis, hal ini disebabkan kenaikkan BBM dan sembako serta persaingan pertunjukan dengan orkes dangdut pinggir jalan lain yang memang saling bersahutan di sekitar lingkungan itu.
Namun demikian, meskipun daerah tersebut dikenal dengan lingkungan yang rawan akan kejahatan, namun belum pernah ada kerusuhan yang berarti selama pertunjukan Jaipong berlangsung. Hal ini diakui oleh pengunjung setia acara tersebut dan beberapa penduduk yang terletak sekitar 1km dari kawasan tersebut.
Ada perbedaan antara Penari Jaipong dengan Ronggeng.
Anton (Pimpinan kelompok tari Jaipong): kalau Penari Jaipong itu hanya menari di atas panggung, tujuannya hanya menghibur penonton. Sedangkan Ronggeng lebih cenderung sebagai penari plus-plus.
Aas namanya, usia 27th, asal Cikarang Jawa Barat, dia sudah menekuni dunia sebagai penari Jaipong dari tahun 2000. Dia merasakan suka duka menjadi penari Jaipong, bagaimana tidak, di saat pengunjung ramai, maka dia dan kelompoknya otomatis akan mendapatkan saweran yang banyak pula. Dari situ dia dapat menyimpan lebihnya, baik ditabung maupun untuk dikirm ke kampung. Mengingat dia mempunyai satu anak yang berusia 9 tahun. Namun di saat kondisi badan kurang bagus, atau bahkan moody pun dia tetap harus tampil dan selalu tersenyum di atas panggung demi menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya di kampung.
Dia pertama kali datang ke Jakarta itu pun karena ajakan dari temannya, satu hal yang classic, apabila pendatang di saat pulang kampung dan kembali ke Jakarta maka akan membawa temannya yang di kampung. Dan hal itupun terjadi pada Aas, dia menjadi penari Jaipong karena dia tidak mempunyai keahlian yang lain, mengingat pendidikan terakhirnya hádala Sekolah Dasar, dan demi menghidupi anak semata wayangnya, karena dia sudah bercerai, dan juga keluarganya di kampung.
Karena dia sudah memutuskan untuk menjadi penari Jaipong di pinggir jalan, maka diapun harus mengambil konsekwensi nya, yang di mana tidak sedikit dari setiap pengunjung yang tengah berjoget, yang juga tidak sedikit dari mereka menenggak minuman beralkohol, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan oleh penari pun sering terjadi, seperti coba untuk mencium dengan berpura-pura memberikan saweran, mencolek, maaf pantat penari, dll. Namun Aas dan penari yang lain pun tidak kalah lihainya dalam usaha untuk menghindari penyawer yang jahil Namun dengan tidak menyinggung perasaan si penyawer tersebut, dengan cara mendorongnya dengan teknik menari nya.
Pihak keluarga Aas di kampung pun mengetahui dengan pasti profesi nya selama di Jakarta, Namun selama saya dapat menjaga diri, itu tidak menjadi masalah buat keluarga saya, demikian tutur Aas saat kami wawancari mengenai tanggapan keluarganya yang mengetahui profesinya.
Aas mewarisi bakat Jaipong dari keluarganya, meskipun dari kecil dia sama sekali tidak berminat untuk menjadi penari.
0 komentar:
Posting Komentar