Rabu, 25 November 2020

Jalur Baru Menuju ke Gunung Sanghyang, Bali

 

Gunung Agung dari Puncak Gunung Sanghyang (2.074 MDPL)

November 2020 - Berangkat dari Denpasar boncengan sama temen gue mengarah ke Bedugul. Jam 7.30 pagi kita bener-bener meluncur dari tempat janjian ga pake molor-moloran macam karet yang melar kalo diminyakin.

Sekitar sejam perjalanan, pas di daerah Baturiti, sesuatu yang ga diinginkan terjadi, iya ban belakang motor kita pecah, jadinya harus ke bengkel dulu ganti ban dalam. Sekitar 20 menitan nunggu sampe kelar dan kita lanjut perjalanan ke Wanagiri-Tamblingan dan berakhir di Munduk. Bukan tujuan utama sih, di sini kita janjian sama pemandu plus temen-temen lain yang mau gabung untuk muncak.

Sekitar hampir jam 11 siang kita berangkat menuju ke pos untuk memulai pendakian. Nah! jalur pendakian ini infonya adalah jalur baru. Gue aja baru mau muncak untuk yang pertama kalinya ke Gunung Sanghyang, eh, udah dibilangin bakal mendaki di jalur yang baru, yang lama aja belum tau gue hehehe.

Nah, singkat cerita, jadi jalur untuk mendaki gunung tertinggi ke-5 di Bali ini adalah hanya ada satu jalur saja yang dimulai dari Kayu Pundak Pura Bebaktian, sedangkan jalur yang akan gue laluin adalah bener-bener jalur yang emang belum banyak dikenal sama pendaki yang lain. Jalur PHTT itu namanya. Sebenernya belum resmi nama jalur yang baru ini, kenapa kita namakan PHTT? karena dari hasil obrolan sama pemandu dan temen-temen pendaki lain yang semuanya asli dari warga Desa Gesing. Ini adalah desa di bawah kaki Gunung Sanghyang yang pemuda-pemudinya menamakan organisasinya Pemuda Harapan Taru Tenget dan yang disingkat menjadi PHTT. Dan dislangkan menjadi Pemuda Harapan Tak Tentu hehehe. Ceritanya karena banyak pemuda pemudi di sana yang masih nganggur dalam usia dewasa, jadinya menjadi beban orang tua gitu deh. Semoga mereka bisa menemukan aktifitas yang membantu keluarga dan tidak menjadi beban lagi.

Namun, perlu diketahui, di wilayah ini, penduduknya mayoritas menjadi petani cengkeh dan wortel. Sedangkan sisanya yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, maka otomatis akan menjadi buruh tani di sana.

Oke, balik lagi ke jalur pendakian. Jalur yang kita pake ini adalah jalur untuk motor cross sebenernya yang berlokasi di Desa Gesing, Banjar, Bali. Nah, setelah kita parkir motor, maka pendakianpun dimulai dengan melewati perkebunan wortel yang juga dilewati oleh motor cross kalau memang sirkuit tengah berlangsung. Tapi, bukan melewati sepanjang jalur motor cross, setelah itu baru deh pemandu kita buka jalan dengan menebang ilalang pake sabit yang dibawa demi untuk kita semua. Dari awal mulai aja jalan udah mendaki ga pake koma hahaha ditambah dengan hasil membuka jalan oleh pemandu kita yang cukup bikin goresan di lengan kanan dan kiri karena semak belukar dan duri-durinya hahaha. Iya, karena gue pake lengan pendek jadi gue ga bisa komplen saat itu, tapi gue menikmati kok hehehe.

Ini dia awal tanda untuk menuju pos pertama pendakian

Info di awal jarak tempuh sampai puncak sekitar 2 jam, memang lebih cepat karena dimulai dari ketinggian yang pasti lebih tinggi dibandingkan dengan jalur the one and only itu. Meskipun jalurnya terus nanjak dan beberapa dari kita (hampir semua) kena lintah termasuk pemandu kita yang lintahnya sampe jumbo karena udah menghisap darah terlalu lama, tapi kita jalan termasuk cepet lho, karena dalam waktu sejam mendaki udah sampe di tengah gunung. Jadi prediksi 2 jam akan tergenapi, tapiiii ternyata di tengah jalan hujan lebat, jadi memaksa kita untuk berhenti dan pake jas hujan dan jalan lebih hati-hati karena selain nanjak juga beberapa jalan yang kita lewati licin.

Dari pos pertama aja udah begini nanjaknya hahaha

Dan ini jalur hasil dibabat sama pemandu kita. Sepanjang mendaki mayoritas begini medannya 

Lintah jumbo yang ngisep darah pemandu kita, yaaks!



Untungnya hujan ga bertahan lama, jadi kita lebih bisa menambah kecepatan dalam pendakian. Meskipun selalu disamperin sama kabut tapi ga mematahkan semangat untuk mencapai puncak. Dan, lelah selama pendakian serta darah yang dihisap lintah selama mendaki pun terbayar karena ga lama setelah itu kita sampai di area perkemahan. Iya, karena emang rencana kita adalah untuk kemping semalam, jadi kita berhenti di area itu. Jadi total perjalanan yang dimulai dari jam 11.25 dan tiba di area kemping jam 13.48. Setelah istirahat dan mendirikan tenda, gue ke puncak bareng sama temen-temen Hindu yang akan sembahyang di pura kecil puncak. Dari area kemping menuju puncak dibutuhkan sekitar 10 menit aja kok.

Ga jauh dari puncak, hujan bikin kita melambat mendaki

Nyampe juga gue di puncak gunung tertinggi ke-5 ini hehehe

Di jalan menuju ke puncak gue lihat ada patung dan pura yang dalam pengerjaan. Gue dan temen-temen Hindu yang lain ga ada yang bisa jawab gue itu patung apa yang sedang dibangun. Anyway, gue lanjut jalan sampai puncak untuk bener-bener merasakan puncak sesungguhnya dari gunung tertinggi ke-5 di Bali ini. Kabut begitu mendominasi baik di area kemping maupun di puncaknya. Tapi ga menutup kecantikan alam yang dianggap suci oleh umat Hindu di Bali ini.

Pura yang masih proses dibangun menuju ke puncak Gunung Sanghyang

Patung yang juga masih proses deket dengan pura yang proses juga

Setelah balik ke area kemping, kegiatan dilanjutkan dengan makan-makan dan ngobrol seru bersama pemandu dan pendaki lain yang emang gue belum pernah kenal sebelumnya. Dari makan mie instan sampe makan nasi dan lontong plus sayur pakis yang langsung dipetik oleh mereka ketika mendaki (karena memang sepanjang pendakian pepohonan didominasi oleh pohon pakis yang memang bisa dimakan).

Makan malam bareng hikers asli penduduk warga kaki Gunung Sanghyang dan pemandu :)


Dilanjutkan istirahat yang gue ga bisa tidur lelap sampe alarm bunyi kalo gue tidur di kamar gue sendiri. Mungkin karena gue telalu excited seperti biasanya kalo mau ngapai-ngapain, jadinya gue kebangun jam 4.30 dan nunggu sampe jam 5 untuk ngumpulin nyawa dan lanjut muncak untuk hunting sunrise dan pemandangan lainnya yang gue denger sebelumnya itu.

And, yipppiii! ini dia pemandangan yang gue dapat:

Matahari terbit dari Puncak Gunung Sanghyang dengan ketinggian 2.074 mdpl

Depan gue banget itu Guung Lesung, kiri gue Danau Tamblingan, kanan gue belakang Gunung lesung itu Danau Buyan. Pemandangan ini di utara puncak Gunung Snghyang.

Puncak Gunung Agung dari Puncak Gunung Sanghyang. Ini di sebelah timur Puncak Gunung Sanghyang.

Gunung Batukaru di selatan Puncak Gunung Sanghyang.

Setelah itu turun ke area kemping dan sarapan. Lanjut bongkar tenda dan turun deh. Turun gunung dari jam 7.59 melewati jalur yang beda dengan ketika kita mendaki. Iya, jalur yang kita lewati untuk turun adalah jalur yang biasa dipake untuk mendaki oleh pendaki yang lain, yaitu jalur satu-satunya yang ada selama ini. Cukup bagus, jadi gue punya konten yang beda dibandingin dengan vloger maupun blogger yang lain. Karena naik dan turun gue lewatin jalur yang berbeda hehehe. Thanks to pemandu gue yang namanya Bli Dedi.

Salah satu jalur ekstrim baik naik maupun turun dari pos Pura Bebaktian

Jalurnya ga seektrim ketika mendaki. Ekstrimnya hanya dua spot sebelum nyampe di puncak aja yang naik maupun turun harus pake tali. Sedangkan selebihnya jalurnya landai. Sampai di pos Kayu Pandak Pura Bebaktian jam 9.25. Jadi total perjalanan turun sejam setengah.

Ini dia pos awal yang ditandain dengan Kayu Pandak Pura Bebaktian dari jalur pada umumnya

Yes, akhirnya 2 gunung udah gue taklukin selama di Bali. Darat, laut, dan gunung. Lengkap sudah ngebolang gue di Pulau Dewata ini.      


Si Bolang hehe

Ini gue sama anak-anak PHTT

Yang cowok itu pemandu kita, namanya Bli Dedi :)

Gunung Sanghyang pas di belakang gue. Foto setelah turun dari sana

                          Video nya juga tersedia ya di sini. Yang belum subscribe sila di klik tombolnya. Yang sudah subscribe terima kasih banyak! :) 





Selasa, 17 November 2020

We Love Bali Program

 

Foto sama banner ini adalah wajib di setiap lokasi yang berbeda hehe

Pandemi yang berkelanjutan di tahun 2020 ini benar-benar berdampak di semua bidang, sehingga mengakibatkan terpukulnya perekonomian di semua kalangan.

Tidak terlepas bagi daerah yang mengandalkan pariwisata sebagai roda perekonomian seperti Bali. Untuk itu, Kementrian Pariwisata dan Kreatif Ekonomi berinisiatif membangkitkan perekonomian masyarakat setempat dengan menggandeng BPW, PCO, dan pemandu lokal di program We Love Bali yang diadakan sepanjang Oktober-November 2020. Acara ini mengundang semua blogger, vlogger, dan agen perjalanan untuk berpartisipasi dengan cara mengirim mereka ke beberapa lokasi wisata dengan menunjukkan bahwa pariwisata di Bali sudah siap menerima wisatawan baik domestik maupun internasional, karena sudah menerapkan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environmental Sustainable).

Gue sendiri bergabung di acara yang cukup keren ini. Awalnya gue memilih program dengan rute perjalanan Nusa Lembongan-Nusa Penida, tapi ternyata setelah melakukan pendaftaran dan memilih program tersebut ternyata penuh kuotanya, jadi gue dialihkan ke program yang lainnya. Tapi, jujur program yang lain itu gue ga sreg sama rutenya hehe, jadi gue coba nego untuk at least yang ada kegiatan snorkelingnya lah. Dan, pucuk dicinta ulampun tiba, salah satu peserta di program tersebut kasih informasi ke gue kalau ada program dengan rute yang lain. Meskipun tidak ada aktifitas snorkeling, tapi yang penting seimbang antara kegiatan di pantai, gunung, dan lokasi yang lainnya. Iya akhirnya gue dapat program 11 dengan rute perjalanan Buleleng, Kintamani, dan Bangli.  

Kegiatan dilakukan selama 3 hari 2 malam (4-6 November 2020) dengan rute:

Hari Pertama:

1. Titik berkumpul di Pantai Matahari Terbit Sanur: Di sini setelah melakukan pendaftaran ulang dan menyerahkan hasil rapid test negative maka perjalanan dilanjutkan menuju ke... 

2. The Bloom Garden

Ini adalah sebuah taman bunga yang cukup besar dan terinspirasi dari Dubai Miracle Garden. Lokasinya sendiri di daerah Bedugul, Bali Utara. Tempat wisata ini sangat disarankan untuk keluarga.


3.  Handara Golf

Bukan untuk bermain golf, tapi hanya berfoto di pintu gerbang lapangan golf ini yang memang cukup viral di media sosial.


4. Pura Ulun Danu Bratan

Entah sudah yang keberapa kalinya gue ke sini, tapi yang pasti ketika bergabung dalam program We Love Bali ini, inilah kali pertama gue masuk ke wilayah pura di masa pandemi yang banyak sekali perubahan ketika berwisata sebelum pandemi. Bukan pura nya yang berubah, tapi perilaku pengunjung serta tambahan fasitilitas nya yang berubah. Harus cuci tangan dan ukur suhu tubuh di pintu masuk, dan selama di area pura tetap mengenakan masker. Jadi Pura Ulun Danu ini dikenal juga dengan pura mengapung. Karena kalau air danau tengah pasang, maka pura yang di sana terlihat seperti mengapung, sehingga kalau mau masuk ke pura harus menggunakan perahu.


5. Air Terjun Banyumala

Akhirnya gue kembali lagi untuk melihat air terjun yang cantik ini untuk yang kedua kalinya. Iya sebelum bergabung dalam acara We Love Bali ini, gue sudah pernah ke sini sendirian. Good to be back here again!


6. Buleleng

Di sini kita menginap di Puri Bagus Lovina yang kerennya lagi, gue diupgrade ke kamar suite dengan fasilitas yang pasti ukuran kamar jauh lebih luas dibanding kamar biasa, ada bathtub, shower terpisah dengan konsep outdoor shower, dan kolam renang pribadi. Ketiban duren gue di acara ini! Hehe. Oh ya, demi mengaplikasikan protokol kesehatan khususnya “Jaga jarak” maka semua peserta mendapatkan masing-masing satu kamar. Jadi kebayang kan, gue sendirian di kamar suite yang super gede itu hehehe.


Hari Kedua:

1.  Dolphins Watching

Subuh sebelum jam 5 pagi sudah bangun dan bersiap-siap untuk melihat lumba-lumba. Karena posisinya resort yang beachfront, jadi hanya melangkah beberapa jengkal menuju ke pantai dan perahu-perahu kecil sudah menanti untuk mengantar semua peserta melihat aksi lumba-lumba menyambut matahari terbit.  


2. Museum Soenda Ketjil

Masih di daerah Buleleng. Setelah chek out dari Puri Bagus Lovina, kita langsung mengarah ke museum ini. Dan ini adalah museum pertama gue yang gue kunjungin selama di Bali hehe


3.  Pura Beji

Keunikan dari pura ini terdapatnya relief yang menggambarkan seorang Belanda bermain gitar.


4. Pura Maduwe Karang

Pura ini dikenal sebagai pura untuk umat Hindu Bali yang mengucap syukur atas rezeki yang mereka dapat, baik dengan kenaikan pangkat, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dll.


5. Kintamani

Makan siang di Puncak Sari, resto yang selalu atau yang hampir selalu dikunjungi oleh wisatawan grup. Karena memang bagus dengan pemandangannya . Iya langsung mengarah ke Gunung Batur dan Gunung Abang sekaligus Danau Batur.


6. Toya Devasya

Ini merupakan pemandian air panas yang menyediakan water park dan penginapan ala campers/ hikers. Iya, jadi kita nginep di tenda, yang gue pikir bakal kemping beneran di sebuah lapangan samping danau, tapi ternyata tenda sudah diset dan posisinya ada di sebuah aula gitu deh. Jadi tepatnya untuk belajar kemping hehehe. Tapi ternyata mereka mempunyai area kemping yang memang sudah dibangun seperti itu karena ada permintaan dari beberapa pendaki gunung yang melakukan pendakian di daerah situ.

 

Hari Ketiga:

1. Bersepeda di kawasan Kintamani dengan pemandangan Gunung Batur. Jarak yang kita tempuh, info dari pemandu adalah 7 km dengan medan medium. Sepeda sih emang bukan olah raga gue, tapi karena sudah terbiasa dengan renang, jadinya ga kaget ketika dapat medan yang cukup bikin keok khusunya buat mereka yang ga pernah olah raga hehehe. Iya ada beberapa peserta yang baru mulai mengayuh dari garis start ternyata balik lagi hehe



2. Masih di Toya Devasya

Sebelum cek out setelah bersepeda, kita semua sarapan dan  melakukan aktifitas air di Danau Batur. Iya permainan air ini khusus buat perserta yang memenangkan photography competition. Sedangkan pemenangnya diumumkan pada saat makan malam di area kemping. Dan, gue salah satu yang memenangkannya, eh menang 2 kategori ding! Yaitu di best video dan best photo. Dan hadiahnya adalah tiket untuk bermain wahana air yang disediakan oleh Toya Devasya. Jadi gue main Banana dan Donut Boat. Wah! Seru banget! Liat videonya di YouTube gue ya!


3. Desa Penglipuran

Setelah check out dari area kemping, maka kita semua menuju ke destinasi terakhir yaitu Desa Penglipuran. Desa ini mendapatkan pengharagaan sebagai desa terbersih sedunia di awal 2016. Keren banget ya! Dan emang ketika yang kedua kalinya gue ke sana sama sekali ga menemukan sampah berserakan di rumah-rumah penduduknya. Dan di sini kita dapat kesempatan untuk melihat proses pembuatan jamu Bali yang berbahan dasar daun cemcem atau lebih dikenal dengan Kedondong Hutan. Gue selama 4 tahun tinggal di Bali belum pernah minum ini, dan kali pertama gue minum ya pas di acara We Love Bali ini. Ternyata rasanya asem seger, jadinya gue suka banget! Dan setelahnya dilanjutkan untuk melihat proses anyaman. Yang sayangnya gue ga dapat kesempatan itu, karena setelah melihat proses Loloh Cemcem, gue diminta oleh ketua panitia acara untuk memberikan testimoni selama kegiatan berlangsung . Dan itu langsung direkam oleh panitia ketika gue memberikan testimoni itu. Wah! Dari sekian peserta terpilih 4 orang dan salah satunya itu gue. Testimoni dari 4 orang yang terpilih ini langsung dikirim ke Kemenparekraf sebagai penyelenggara acara. Tersanjung gue hehehe.


Dan perlu diketahui, bahwa selama kegiatan berlangsung,  baik peserta  dan panitia selalu menerapkan protokol kesehatan dengan cara tidak melepas masker kecuali makan dan minum, selalu rajin mencuci tangan menggunakan hand sanitizer, dan menggunakan sabun dan air mengalir ketika sampai di tempat wisata. Iya semua tempat wisata yang kami kunjungi sudah menyediakan wastafel dan pengecekan suhu tubuh. Jaga jarakpun diterapkan di dalam bus yang kita naiki, tempat duduk yang seharusnya diisi untuk 2 penumpang, namun selama acara hanya diisi masing-masing satu penumpang. Sedangkan tempat duduk paling belakang yang biasanya bisa diisi 5 sampai 6 penumpang hanya diisi maksimal 3 orang saja.

 


Jadi, melalui acara ini yang diharapkan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah kembalinya perekonomian khususnya di bidang pariwisata. Karena dengan menerapkan protokol kesehatan serta mematuhinya, maka tidak akan ada rasa khawatir berlebih selama melakukan perjalanan. Semoga kondisi segera pulih dan pariwisata baik di Bali, Indonesia, maupun global segera membaik.

 


Videonya juga boleh kok ditonton. Sekalian disubscribe ya yang belum, kalo yang udah thanks banget!


Dan, gue denger dari salah satu staf kemenparekraf yang ikut di program kita, acara We Love Bali ini akan segera berkembang ke pulau-pulau yang lain di Indonesia, seperti Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dan Sumatera. Semoga sukses Kemenparekraf!

Senin, 16 November 2020

Pura Pucak Mangu yang Sakral dan Indah di Puncak Gunung Catur (2.096 mdpl)

 

Berhasil juga gue naklukin Pura Pucak Mangu ini

Mengunjungi sebuah pura merupakan salah satu daftar bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Namun, tidak semua pura yang menjadi tempat suci bagi umat Hindu mudah dikunjungi, hal tersebut karena memang lokasinya yang bisa dibilang unik sehingga diperlukan tenaga ektra untuk mencapainya.

Salah satunya adalah Pura Pucak Mangu yang terletak di puncak Gunung Catur. Meskipun menjadi gunung tertinggi ke-4 di Bali, tapi terdengar asing bagi penduduk Bali sendiri. Namun, ketika kita bertanya tentang Pura Pucak Mangu, maka dengan senang hati mereka akan memberikan petunjuk jalan untuk mencapainya.

Mengapa Pura Pucak Mangu lebih terdengar akrab daripada Gunung Catur itu sendiri bagi orang Bali? Karena umat Hindu di Bali percaya bahwa pura tersebut adalah salah satu Pura Kahyangan Jagat dari sembilan pura yang tersebar di sembilan arah mata angin yang bertujuan untuk meramalkan serangan jahat dari segala arah dan mengusirnya.

Pura Pucak Mangu ini dipercaya sudah ada dari zaman megalitikum dengan bukti ditemukannya sebuah lingga besar. Selain itu juga menjadi tempat bertapa seorang Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu  yang kalah dalam peperangan. Setelah melakukan tapa brata di Pura Pucak Mangu ini, dia mendapatkan ilmu baru sehingga kembali berperang dan memenangkannya.

Sekitar  2 jam gue berkendara dari Bali Selatan sampai di Desa Plaga, Petang. Daerah pegunungan yang masih masuk wilayah Badung ini memiliki udara yang cukup segar, sehingga menjadi salah satu favorit bagi pecinta alam. Secara tidak sengaja ini ngomongin gue sendiri, sih! hehe

Jalan nyantai banget, dan nyampe sini 3 jam berikutnya

Dengan ketinggian 2.096 dpl, diperlukan waktu sekitar 2-3 jam untuk mendaki dengan jalur yang cukup nyaman, karena memang sudah terdapat jalur yang cukup jelas serta pepohonan yang cukup lebat, dan sesekali akan disambut dengan kabut sehingga akan memberikan kesejukan selama pendakian. Inilah salah satu yang menghambat gue selama mendaki, karena banyak berhentinya untuk foto-foto hehe

Terdapat empat pos perhentian di sini. Jalur di pos 1 dan 2 cukup bersahabat, namun, ketika memasuki pos 3 dan 4, maka jalur akan sedikit menantang, karena tanjakan semakin menjadi-jadi. Di jalur menuju pos 3 sendiri akan melewati jalanan setapak bekas  tanah longsor, jadi pastikan hati-hati banget ketika melewatinya khususnya ketika hujan.

Memasuki jalur pos 4, tanjakan semakin menggila. Namun, kalian akan disuguhi dengan pemandangan Desa Plaga dari ketinggian yang tentu saja tidak boleh dilewatkan untuk diabadikan. Dengan tanjakan yang cukup menantang tersebut, maka rasa lelah pendakian akan terbayar ketika telah mencapai puncak yaitu dengan menikmati pemandangan Danau Bratan, sedangkan di sisi timur kalian akan dimanjakan dengan pemandangan Gunung Batur dan Gunung Abang, namun tentu saja ketika tidak berkabut. Sedangkan gue pas ke sana pas lagi kabut, jadi wasalam, cuma liat kabut yang berseliweran di puncak hehe

Secara keseluruhan untuk jalur pendakian di Gunung Catur ini sangat disarankan bagi pendaki pemula, karena termasuk bersahabat. Itu terbukti karena salah satu tim dalam pendakian ada seorang anak berusia 11 tahun, Alan namanya. Dan dia berhasil mencapai puncak. He’s rock!

Ini dia yang namanya Alan. Dia berhasil naklukin Gunung Catur di pengalaman pertamanya!

Dan informasi tambahan, area parkir di sini tidak dikenakan biaya. Toilet juga tersedia namun dikenakan biaya sesuai penggunaan. Yang sangat disayangkan adalah, meskipun tersedia tempat sampah, namun pengangkutan sampah tidak dilakukan secara berkala, sehingga menumpuk bahkan luber. Begitupun ketika di Puncak Mangu tumpukan sampah bekas pendaki maupun peziarah juga mengganggu pemandangan dan penciuman. Jadi, tolong ya manteman, jangan nyampah! Bawa sampah kalian kembali khususnya sampah plastik!   


Untuk yang lebih suka lihat videonya juga bisa mampir ke sini ya. Eit! Jangan lupa subscribe ya untuk terus mendukung channel gue. Thanks! :)


Kamis, 24 September 2020

Pengalaman Menjadi Orang Bali yang Sesungguhnya

 

Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio

Bali memang bisa menjadi tujuan liburan dengan mengunjungi keindahan alamnya yang selalu menjadi favorit bagi siapapun. Namun, di balik semua itu, apakah kalian tidak tertarik dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali?

Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio menawarkan pengalaman untuk bisa melihat secara langsung kehidupan masyarakat Bali. Tidak hanya sekedar melihat, namun, kita juga berkesempatan untuk menginap sekaligus berinteraksi, dan merasakan secara langsung kegiatan sehari-hari mereka.

Gue kali dapat kesempatan bersama tim Bali Prawara untuk mengunjungi Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio. Ketika memasuki gerbang area ini, kita akan diajak untuk tur mengelilingi rumah adat masyarakat Bali yang dihuni oleh keluarga besar yang terdiri dari lebih dari 3 kepala keluarga dengan ciri khasnya yaitu, terdiri dari Bale Dangin yang posisi selalu di timur. Ruangan ini dibangun dengan konsep terbuka yang ditutup atap dan kelambu saja yang diisi dengan 2 tempat tidur, tempat tidur yang satu berfungsi sebagai tempat tidur yang digunakan oleh keluarga tertua, sedangkan di tempat tidur sebelahnya diisi dengan peralatan upacara (Dari proses kelahiran, remaja, pernikahan, sampai dengan kematian salah satu anggota keluarga). Untuk bangunan yang bernama Bale Daje merupakan rumah tinggal yang dihuni oleh keluarga lainnya. Sedangkan tidak jauh dari Bale Daje dan Dangin terdapat sanggah atau pura keluarga yang dimana semua keluarga dapat menggunakannya untuk sembahyang. Sedangkan di selatan dibangun sebuah dapur yang juga dapat digunakan oleh semua keluarga. Halaman kosong selalu menjadi ciri khas rumah adat Bali di tengah rumah-rumah kecil yang mengelilinginya, khusus untuk di daerah Baturiti ini karena areanya agraris, sehingga dibangun sebuah rumah jineng/ lumbung untuk menyimpan beras hasil panen. Rumah jineng ini dibangun bertingkat, untuk penyimpanan beras sendiri terdapat di bagian atas, sedangkan di bagian bawah dapat digunakan sebagai bale bengong atau ruang tamu untuk menyambut kehadiran tamu maupun tempat untuk berkumpulnya keluarga untuk bercengkrama.

Selama berada di rumah adat Bali ini, kita akan melihat secara langsung aktivitas sehari-hari penghuninya yang alami. Seperti seorang kakek yang tengah duduk santai di bale bengong sambil mengawasi ayam-ayam peliharaan, sedangkan seorang nenek tengah menghaluskan boreh/ param kocok/ lulur dengan bahan-bahan tradisional seperti beras, cengkeh, jahe, lengkuas, dan kunyit dengan menggunakan ulekan. Fungsi dari boreh tersebut adalah untuk menghilangkan pusing dengan cara dioleskan di dahi dan di belakang telinga bawah. Sedangkan untuk menghilangkan capai, maka bahan yang sudah dihaluskan tersebut dapat dioleskan di kedua betis. Konsep rumah adat Bali yang terbuka adalah, karena kelembapan cukup tinggi dan juga berada di ring of fire, sehingga jika terjadi gempa akibat erupsi gunung berapi, maka penduduk akan dengan mudah untuk menyelamatkan diri keluar dari rumah.    

Setelah mengenal filosofi rumah adat Bali beserta dengan aktivitas penduduknya sehari-hari, maka tempat wisata yang berlokasi di Baturiti, Tabanan, Bali ini juga memperkenalkan penulisan aksara Bali yang ditulis atau lebih tepatnya diukir di atas daun lontar. Namun, sebelum melihat proses penulisan aksara Bali, para pengunjung akan disuguhi dengan welcome drink yang terbuat dari teh bunga rosella yang dicampur dengan rempah-rempah khas Bali. Rasanya cukup segar dan sedikit masam karena memang dari bunga rosella itu sendiri yang mempunyai cita rasa masam. Tapi dipastikan minuman tersebut dapat menghilangkan dahaga setelah berkeliling melihat rumah adat Bali.

Rumah Adat Bali yang digunakan untuk nulis Aksara Bali di Rumah Desa

Kembali ke proses penulisan aksara Bali di daun lontar. Di sini langsung didemonstrasikan oleh pemilik Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio yaitu Pak Wayan Sudiantara. Proses penulisannya sendiri menggunakan sebuah pisau kecil yang digoreskan di atas daun lontar. Sedangkan untuk menebalkan tulisan, penduduk setempat menggunakan kemiri bakar sehingga tulisan terbaca lebih jelas. Dan tidak lupa, di sini juga kita akan diberikan oleh-oleh berupa ukiran nama kita di daun lontar yang ditambah dengan uang kepeng sebagai liontin sehingga bisa dijadikan sebuah kalung yang dapat kita kenakan setelahnya.

Ini dia nama gue yang diukir di daun lontar menggunakan aksara Bali

Masih di area yang sama, kita akan merasakan kehangatan penduduk setempat dengan hidangan yang disajikan ala rijsttafel  sebelum melanjutkan tur di area yang memiliki lahan seluas 40 are tersebut. Hidangan yang disajikan secara rijsttafel tersebut terdiri dari nasi dengan beberapa kondimen seperti babi kecap, tum ayam, sate ayam, bakwan jagung, terong basa genap, plecing daun gingseng, ayam sambal bejeg, dan ayam betutu yang dipastikan dapat membuat kita (khususnys gue) ketagihan atau meminta resepnya untuk dimasak kembali di rumah. Namun, jangan khawatir! Karena ternyata mereka juga menyediakan kelas memasak yang dapat dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu. 

“Kami juga memiliki cara tersendiri untuk mencegah virus-virus yang akan menyerang kekebalan imun tubuh. Dengan menggunakan cara tradisional yang dipercaya secara turun temurun. Adapun cara yang dimaksud adalah dengan menggunakan Asepan atau kalau yang modern adalah dupa. Sedangkan Asepan yang kami gunakan adalah jauh sebelum ditemukannya dupa. Dan bahan-bahan yang digunakan antara lain tembakau, batang kayu putih, bunga kemenyan, dupa dengan aroma sesuai selera yang kesemuanya dibakar dan asapnya itulah yang kami percaya sebagai disinfektan alami. Ini merupakan salah satu kearifan lokal yang harus kami pertahankan. Selain sebagai disinfekatan alami, asepan ini juga dapat digunakan untuk upacara namun bahan-bahan yang dibakar akan berbeda.” Ungkap Pak Wayan Sudiantara, Pemilik Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio.  

Selain itu, paket petualangan juga disediakan oleh tempat wisata yang dibuka untuk umum dari tahun 2009 tersebut. Seperti bersepeda berkeliling desa, mengenal sistem irigasi sawah yang masih dijalankan secara tradisional, menanam padi, trekking di persawahan, dan belajar membuat minyak kelapa.

Pembuatan minyak kelapa sendiri yang dilakukan oleh penduduk asli Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio ini membutuhkan sekitar 5 buah kelapa untuk 660 ml. Prosesnya berawal dari pengupasan kelapa yang dilakukan secara tradisional menggunakan batang kelapa yang telah ditajamkan dan ditancapkan di batang kelapa yang lebih besar sehingga berdiri tegak dan siap untuk mengupas kelapa yang dibutuhkan. Kemudian diambil dagingnya, diparut, dan dicampur dengan air matang kemudian diperas di atas wadah yang telah disiapkan. Kemudian didiamkan selama 24 jam di suhu ruangan. Proses ini akan membuat minyak dan air terpisah. Ketika air dan minyak sudah terpisah, maka bisa disaring untuk diambil minyaknya saja yang dapat digunakan untuk memasak. Kegiatan pembuatan minyak kelapa ini biasanya dilakukan oleh para orang tua yang sudah pensiun sebagai pengganti aktivitas sehari-hari.

Trekking di persawahan juga salah satu kegiatan menyenangkan lainnya yang ditawarkan oleh Rumah Desa ini. Dan di jalur trekking sendiri, kita akan dengan mudah menemui pohon kopi. Menurut Pak I Made Mendra Astawa selaku Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi Bali, beliau menjelaskan “Pohon kopi yang ada di sini adalah jenis Robusta yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di mana biji-biji kopi ini merupakan favorit bagi binatang luwak yang otomatis menjadi bahan makanan mereka dan kotoran dari binatang luwak ini yang akan diproses menjadi kopi luwak dan kemudian dipasarkan.”

Yoga pertama gue :D

Tempat wisata yang dapat ditempuh selama satu jam perjalanan dari Denpasar ini juga menyediakan kelas yoga dan meditasi. Selain itu, jika kalian ingin menyelenggarakan pesta pernikahan dengan adat Bali, ulang tahun, gathering, dan acara luar ruangan yang lainnya maka Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio juga dapat menjadi pilihan.

 

Selasa, 08 September 2020

Tirta Empul: Pembersihan Diri di Era Tatanan Baru

 

Melukat/ Pembersihan diri di era baru di Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, Bali


September 2020 – Bulan September 2016 adalah awal gue pindah dari Jakarta ke Bali, secara official, iya, literally gue pindah dari Jakarta ke Bali. Meskipun secara kependudukan gue masih Jakarta, tapi kalau tempat tinggal dan pekerjaan gue sudah sah di Bali. Dan, selama kurun waktu itu gue sudah menjelajahi setiap sudut Pulau Dewata ini. Yakin sudah setiap sudut? Iya, gue yakin untuk tempat-tempat wisatanya, tapi kalau untuk tradisi dan budaya nya yang gue masih minim hehehe.

Betul sekali, jadi selama kurun waktu empat tahun gue belum pernah lihat secara langsung proses pembersihan diri yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali ini. Dan, kesempatan itu akhirnya datang juga, karena kebetulan salah satu teman dari Jakarta yang sudah tinggal lebih lama di Bali dibanding gue, dia mau melakukan proses pembersihan diri yang dia sendiri mengaku kalau ini bukanlah hal yang pertama dia lakukan selama tinggal di Bali.

Singkat cerita, akhirnya gue dan teman gue, berangkat menuju ke Tampaksiring untuk mengantar teman gue yang mau bergabung dalam proses pembersihan diri ala umat Hindu, Bali yang juga pastinya ditemani oleh salah satu teman kita yang asli orang Bali.  

Perjalanan kita tempuh sekitar satu jam dari Denpasar dengan kondisi jalanan yang masih cukup sepi di new normal ini. Sedangkan lokasi yang kita tuju adalah Tirta Empul yang berlokasi di Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Sepanjang perjalanan, teman kita yang asli orang Bali sedikit banyak bercerita mengenai melukat atau proses pembersihan diri yang dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali. Jadi, untuk proses melukat sendiri dapat dilakukan di beberapa tempat yang memang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh pandita, seorang pemuka agama Hindu yang telah mendapat wangsit akan sebuah tempat yang dapat disucikan untuk persembahyangan. Jadi, selain Tirta Empul, masih banyak lagi tempat-tempat yang bisa digunakan untuk melukat bagi umat Hindu di Bali. Sedangkan untuk proses melukat sendiri akan sangat disarankan dilakukan setiap bulan purnama, yang artinya dapat dilakukan setiap bulan.

Canang/ sesajen yang dipersembahkan oleh peziarah yang hendak melukat


Melukat atau proses pembersihan diri ini dapat dilakukan secara mandiri atau dipimpin oleh seorang pandita. Sedangkan untuk teman gue kali ini dia akan melakukan secara mandiri dengan bantuan dari teman yang asli orang Bali.

Tirta Empul sendiri berarti Sumber Mata Air Suci yang diambil dari sumber mata air yang terletak di dalam pura. Sumber tersebut mengalir ke beberapa kolam untuk proses melukat dan ke kolam ikan yang mengelilingi parimeter luar pura, serta mengalir ke sungai Tukad Pakerisan.

Terdapat tiga kolam yang masing-masing terdiri dari 13 pancuran, 2 pancuran, dan 6 pancuran. Yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda bagi setiap orang yang datang untuk melukat. 13 pancuran yang pertama adalah dipercaya untuk memberikan keselamatan bagi umat Hindu yang akan bepergian jauh (bekerja di luar Bali atau luar Indonesia), supaya diberikan kesehatan, keselamatan, rezeki, dan juga masalah perjodohan. Kolam yang memiliki dua pancuran dipercaya untuk membersihkan diri dari kutukan serta bawaan buruk lahir seseorang. Sedangkan kolam ketiga yang memiliki 6 pancuran dipercaya untuk bisa membersihkan diri dari ilmu hitam, aura mistis, dan dapat membersihkan diri dari penyakit berat yang secara medis tidak dapat diobati.

Salah satu kolam yang berisi 2 pancuran untuk melukat


Di era tatanan baru ini, area yang masih satu lokasi dengan Istana Tampaksiring yang dibangun oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah menerapkan protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan di pintu masuk serta wastafel lainnya yang mudah ditemukan di beberapa sudut lokasi. Sedangkan stiker yang bermaksud memperingkatkan para pengunjung atau jemaat yang hendak beribadah juga telah diterapkan di sana sehingga proses jaga jarak juga harus dipatuhi selama berada di dalam area. Selain kolam untuk penyucian diri, area ini juga dilengkapi dengan sebuah Pura yang dikenal dengan Pura Tirta Empul. Para pengunjung yang hanya ingin sekedar melihat-lihat keindahan pura ini juga diperbolehkan dengan mematuhi peraturan yang ada, yaitu dengan mengenakan kamen atau sarung yang telah disediakan di pintu masuk (gratis), serta mematuhi batas-batas yang cukup jelas di area pura.

Salah satu kolam yang berisi 6 pancuran untuk melukat


Di awal lockdown karena pandemi, area Tirta Empul ini tidak melayani publik selama 3 bulan pertama, dan baru dibuka untuk umum pada Juni 2020.

Tiket masuk bagi para pengunjung yang hendak berwisata atau melihat proses melukat akan dikenakan biaya sebesar Rp 30.000 per orang. Sedangkan bagi yang hendak melakukan proses penyucian diri dan sembahyang, maka tidak dikenakan biaya sama sekali. Sangat disarankan untuk membawa baju ganti serta handuk sendiri, dikarenakan area ini tidak menawarkan penyewaan handuk. Loker dan toilet juga tersedia di lokasi yang dapat digunakan oleh peserta yang melakukan melukat.


Untuk video lebih detail bisa cek di youtube gue ya. Yang udah subscribe terima kasih banyak, yang belum sila klik ya :)



Rabu, 02 September 2020

Alas Kedaton, Bali: Masuknya Gratis, Wahananya Seru Abis!

 

Kasih makan monyet-monyet di Alas Kedaton legal selama dalam pengawasan petugas

September 2020 – Jujur seneng banget selama new normal ini akhirnya sudah bisa ngebolang lagi meskipun masih di sekitaran pulau. Kali ini gue dapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu Monkey Forest yang ada di daerah Tabanan, Bali. Kalau dari Denpasar sekitar 35 km, jadi kurang lebih berkendara sekitar 40 menitan. 

Awalnya gue kurang minat sih ketika diajakin sama tim Bali Prawara untuk ke lokasi. Karena gue pikir namanya Monkey Forest ya gitu-gitu aja pasti sama ama yang di Sangeh dan Ubud. Tapi ternyata masuknya gratis dan ada wahananya juga. Jadi selain bisa bercengkrama dengan teman-teman kita yang imut dan cerdas yang juga kadang usil, akhirnya bisa menghabiskan akhir pekan di Alas Kedaton, Tabanan, Bali dengan beberapa permainan yang sedikit adu nyali.

Jadi, luas area di Alas Kedaton ini secara keseluruhan adalah 12 hektar. 6 hektarnya itu adalah hutan lindung, sedangkan 6 hektar sisanya terdiri dari sebuah pura, jalur trekking yang bisa buat jogging, bersepeda, maupun hanya sekedar jalan santai bersama keluarga. Selain itu terdapat juga 202 warung makanan dan toko souvenir. Namun, sayangnya kesemua toko dan warung itu saat ini belum ada yang beroperasi. Kalau dihitung sudah sekitar 6 bulan mereka belum bisa berjualan kembali, karena memang kondisi pandemi ini. Cukup sedih ketika mengetahui keadaan yang sebenarnya, dan dapat info dari petugas Alas Kedaton, mereka yang biasanya berjualan di toko dan warung-warung itu saat ini bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, dll demi untuk melangsungkan perekonomian keluarga. Semoga semuanya segera pulih, amin!

Kebetulan juga selama di Alas Kedaton, gue dan tim Bali Prawara berkesempatan untuk bertemu dan ngobrol langsung dengan Perbekel Desa Kukuh yaitu Bapak I Made Sugianto. Beliau menginformasikan bahwa, wahana yang baru saja diluncurkan untuk umum pada awal Agustus lalu itu antara lain; Flying Fox dengan ketinggian 3 meter dan panjang 70 meter. Dengan ketinggian dan panjang yang tidak terlalu ektrim tersebut beliau berharap dapat digunakan oleh keluarga, baik dari anak-anak sampai orang tua. Sedangkan wahana yang kedua adalah sky/ air bike. Wahana yang ketiga dan yang paling banyak menjadi favorit pengunjung adalah ayunan tradisional Bali. “Di tahun 90-an, Alas Kedaton ini terkenal dengan ayunan tradisional nya, karena hal tersebut kami berinisiatif untuk membangun kembali ayunan yang sama persis ketika di tahun 90-an sehingga bisa memberikan memori tersendiri bagi para pengunjung. Untuk mencoba ketiga wahana tersebut, para pengunjung tidak perlu khawatir merogoh kantung sampai dalam, karena kami hanya memasang harga Rp 20.000 per orang. Harga yang cukup terjangkau bagi para warga yang ingin berekreasi di tengah pandemi.” Ucap Bapak I Made Sugianto, Perbekel Desa Kukuh, Tabanan, Bali.

Ini gue sama Pak Sugianto selaku Perbekel Desa Kukuh, Tabanan Bali


Di lokasi syuting ternyata ketemu dengan Youtuber dari Pelangi Bali (3 orang di kanan)


Si Bapak Sugianto ini ternyata aktif juga lho sebagai seorang Youtuber. Channelnya di Satua Bali Channel

Selain wahana tersebut, kalian juga bisa melihat secara langsung kalong raksasa. Meskipun binatang malam ini termasuk liar, namun di kawasan Alas Kedaton ini sudah cukup jinak bahkan para pengunjung juga dapat berinteraksi secara langsung dengan kalong-kalong tersebut namun dengan arahan dari petugas.

Ini temen baru gue, namanya Miki si Kalong hehehe


Meskipun kegiatan luar ruang, namun Monkey Forest yang berlokasi di Tabanan, Bali ini tetap menerapkan protokol kesehatan bagi pengunjungnya. Mereka menyediakan wastafel yang hands-free dan mudah ditemukan di beberapa titik.

Perlu diketahui, bahwa kera-kera di sini tidak seagresif di tempat lain. Mereka tidak akan dengan mudah merampas barang-barang bawaan pengunjung, namun demi kenyamanan dan keamanan, maka pastikan kalian tetap menjaga barang bawaan dengan sangat hati-hati, ya.

Ini sebenernya sempet gue video-in pas dia nyalain air kerannya, tapi ternyata ga kepencet tombol rekamnya :D


Di era tatanan baru ini, area yang dihuni oleh sekitar 1.400 kera ini dibuka untuk umum khusus di akhir pekan dan libur nasional saja. Jadi, buat yang ada di Bali, pastikan akhir pekan ini dapat berkunjung bersama keluarga tercinta, sedangkan kalian yang di luar Bali dan akan segera berkunjung ke Pulau Dewata ini, jangan sampai ga dimasukkan ke daftar kunjungan ya!


Untuk lebih detailnya sila tonton video gue di youtube ini ya. Jangan lupa subscribe buat yang belum. Kalo yang sudah subscribe, terima kasih banyaaaaak! :)

Kemanapun lo melangkah, please, jangan ninggalin sampah!