Gunung Agung dari Puncak Gunung Sanghyang (2.074 MDPL)
November 2020 - Berangkat dari
Denpasar boncengan sama temen gue mengarah ke Bedugul. Jam 7.30 pagi kita
bener-bener meluncur dari tempat janjian ga pake molor-moloran macam karet yang
melar kalo diminyakin.
Sekitar sejam perjalanan, pas di
daerah Baturiti, sesuatu yang ga diinginkan terjadi, iya ban belakang motor
kita pecah, jadinya harus ke bengkel dulu ganti ban dalam. Sekitar 20 menitan
nunggu sampe kelar dan kita lanjut perjalanan ke Wanagiri-Tamblingan dan berakhir
di Munduk. Bukan tujuan utama sih, di sini kita janjian sama pemandu plus
temen-temen lain yang mau gabung untuk muncak.
Sekitar hampir jam 11 siang kita
berangkat menuju ke pos untuk memulai pendakian. Nah! jalur pendakian ini
infonya adalah jalur baru. Gue aja baru mau muncak untuk yang pertama kalinya
ke Gunung Sanghyang, eh, udah dibilangin bakal mendaki di jalur yang baru, yang
lama aja belum tau gue hehehe.
Nah, singkat cerita, jadi jalur
untuk mendaki gunung tertinggi ke-5 di Bali ini adalah hanya ada satu jalur
saja yang dimulai dari Kayu Pundak Pura Bebaktian, sedangkan jalur yang akan
gue laluin adalah bener-bener jalur yang emang belum banyak dikenal sama pendaki
yang lain. Jalur PHTT itu namanya. Sebenernya belum resmi nama jalur yang baru
ini, kenapa kita namakan PHTT? karena dari hasil obrolan sama pemandu dan
temen-temen pendaki lain yang semuanya asli dari warga Desa Gesing. Ini adalah
desa di bawah kaki Gunung Sanghyang yang pemuda-pemudinya menamakan
organisasinya Pemuda Harapan Taru Tenget dan yang disingkat menjadi PHTT. Dan
dislangkan menjadi Pemuda Harapan Tak Tentu hehehe. Ceritanya karena banyak
pemuda pemudi di sana yang masih nganggur dalam usia dewasa, jadinya menjadi
beban orang tua gitu deh. Semoga mereka bisa menemukan aktifitas yang membantu
keluarga dan tidak menjadi beban lagi.
Namun, perlu diketahui, di
wilayah ini, penduduknya mayoritas menjadi petani cengkeh dan wortel. Sedangkan
sisanya yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, maka otomatis akan menjadi
buruh tani di sana.
Oke, balik lagi ke jalur
pendakian. Jalur yang kita pake ini adalah jalur untuk motor cross sebenernya
yang berlokasi di Desa Gesing, Banjar, Bali. Nah, setelah kita parkir motor,
maka pendakianpun dimulai dengan melewati perkebunan wortel yang juga dilewati
oleh motor cross kalau memang sirkuit tengah berlangsung. Tapi, bukan melewati
sepanjang jalur motor cross, setelah itu baru deh pemandu kita buka jalan
dengan menebang ilalang pake sabit yang dibawa demi untuk kita semua. Dari awal
mulai aja jalan udah mendaki ga pake koma hahaha ditambah dengan hasil membuka
jalan oleh pemandu kita yang cukup bikin goresan di lengan kanan dan kiri
karena semak belukar dan duri-durinya hahaha. Iya, karena gue pake lengan
pendek jadi gue ga bisa komplen saat itu, tapi gue menikmati kok hehehe.
Ini dia awal tanda untuk menuju pos pertama pendakian
Info di awal jarak tempuh sampai
puncak sekitar 2 jam, memang lebih cepat karena dimulai dari ketinggian yang
pasti lebih tinggi dibandingkan dengan jalur the one and only itu. Meskipun
jalurnya terus nanjak dan beberapa dari kita (hampir semua) kena lintah
termasuk pemandu kita yang lintahnya sampe jumbo karena udah menghisap darah
terlalu lama, tapi kita jalan termasuk cepet lho, karena dalam waktu sejam
mendaki udah sampe di tengah gunung. Jadi prediksi 2 jam akan tergenapi,
tapiiii ternyata di tengah jalan hujan lebat, jadi memaksa kita untuk berhenti
dan pake jas hujan dan jalan lebih hati-hati karena selain nanjak juga beberapa
jalan yang kita lewati licin.
Dari pos pertama aja udah begini nanjaknya hahaha
Dan ini jalur hasil dibabat sama pemandu kita. Sepanjang mendaki mayoritas begini medannya
Lintah jumbo yang ngisep darah pemandu kita, yaaks!
Untungnya hujan ga bertahan lama,
jadi kita lebih bisa menambah kecepatan dalam pendakian. Meskipun selalu
disamperin sama kabut tapi ga mematahkan semangat untuk mencapai puncak. Dan,
lelah selama pendakian serta darah yang dihisap lintah selama mendaki pun
terbayar karena ga lama setelah itu kita sampai di area perkemahan. Iya, karena
emang rencana kita adalah untuk kemping semalam, jadi kita berhenti di area
itu. Jadi total perjalanan yang dimulai dari jam 11.25 dan tiba di area kemping
jam 13.48. Setelah istirahat dan mendirikan tenda, gue ke puncak bareng sama
temen-temen Hindu yang akan sembahyang di pura kecil puncak. Dari area kemping
menuju puncak dibutuhkan sekitar 10 menit aja kok.
Ga jauh dari puncak, hujan bikin kita melambat mendaki
Nyampe juga gue di puncak gunung tertinggi ke-5 ini hehehe
Di jalan menuju ke puncak gue
lihat ada patung dan pura yang dalam pengerjaan. Gue dan temen-temen Hindu yang
lain ga ada yang bisa jawab gue itu patung apa yang sedang dibangun. Anyway,
gue lanjut jalan sampai puncak untuk bener-bener merasakan puncak sesungguhnya
dari gunung tertinggi ke-5 di Bali ini. Kabut begitu mendominasi baik di area
kemping maupun di puncaknya. Tapi ga menutup kecantikan alam yang dianggap suci
oleh umat Hindu di Bali ini.
Pura yang masih proses dibangun menuju ke puncak Gunung Sanghyang
Patung yang juga masih proses deket dengan pura yang proses juga
Setelah balik ke area kemping,
kegiatan dilanjutkan dengan makan-makan dan ngobrol seru bersama pemandu dan
pendaki lain yang emang gue belum pernah kenal sebelumnya. Dari makan mie
instan sampe makan nasi dan lontong plus sayur pakis yang langsung dipetik oleh
mereka ketika mendaki (karena memang sepanjang pendakian pepohonan didominasi
oleh pohon pakis yang memang bisa dimakan).
Makan malam bareng hikers asli penduduk warga kaki Gunung Sanghyang dan pemandu :)
Dilanjutkan istirahat yang gue ga
bisa tidur lelap sampe alarm bunyi kalo gue tidur di kamar gue sendiri. Mungkin
karena gue telalu excited seperti biasanya kalo mau ngapai-ngapain, jadinya gue
kebangun jam 4.30 dan nunggu sampe jam 5 untuk ngumpulin nyawa dan lanjut
muncak untuk hunting sunrise dan pemandangan lainnya yang gue denger sebelumnya
itu.
And, yipppiii! ini dia
pemandangan yang gue dapat:
Matahari terbit dari Puncak Gunung Sanghyang dengan ketinggian 2.074 mdpl
Depan gue banget itu Guung Lesung, kiri gue Danau Tamblingan, kanan gue belakang Gunung lesung itu Danau Buyan. Pemandangan ini di utara puncak Gunung Snghyang.
Puncak Gunung Agung dari Puncak Gunung Sanghyang. Ini di sebelah timur Puncak Gunung Sanghyang.
Gunung Batukaru di selatan Puncak Gunung Sanghyang.
Setelah itu turun ke area kemping
dan sarapan. Lanjut bongkar tenda dan turun deh. Turun gunung dari jam 7.59
melewati jalur yang beda dengan ketika kita mendaki. Iya, jalur yang kita
lewati untuk turun adalah jalur yang biasa dipake untuk mendaki oleh pendaki
yang lain, yaitu jalur satu-satunya yang ada selama ini. Cukup bagus, jadi gue
punya konten yang beda dibandingin dengan vloger maupun blogger yang lain.
Karena naik dan turun gue lewatin jalur yang berbeda hehehe. Thanks to pemandu
gue yang namanya Bli Dedi.
Salah satu jalur ekstrim baik naik maupun turun dari pos Pura Bebaktian
Jalurnya ga seektrim ketika
mendaki. Ekstrimnya hanya dua spot sebelum nyampe di puncak aja yang naik
maupun turun harus pake tali. Sedangkan selebihnya jalurnya landai. Sampai di
pos Kayu Pandak Pura Bebaktian jam 9.25. Jadi total perjalanan turun sejam
setengah.
Ini dia pos awal yang ditandain dengan Kayu Pandak Pura Bebaktian dari jalur pada umumnya
Yes, akhirnya 2 gunung udah gue
taklukin selama di Bali. Darat, laut, dan gunung. Lengkap sudah ngebolang gue
di Pulau Dewata ini.
Si Bolang hehe
Ini gue sama anak-anak PHTT
Yang cowok itu pemandu kita, namanya Bli Dedi :)
Gunung Sanghyang pas di belakang gue. Foto setelah turun dari sana
Video nya juga tersedia ya di sini. Yang belum subscribe sila di klik tombolnya. Yang sudah subscribe terima kasih banyak! :)
Foto sama banner ini adalah wajib di setiap lokasi yang berbeda hehe
Pandemi yang berkelanjutan di
tahun 2020 ini benar-benar berdampak di semua bidang, sehingga mengakibatkan
terpukulnya perekonomian di semua kalangan.
Tidak terlepas bagi daerah yang
mengandalkan pariwisata sebagai roda perekonomian seperti Bali. Untuk itu,
Kementrian Pariwisata dan Kreatif Ekonomi berinisiatif membangkitkan
perekonomian masyarakat setempat dengan menggandeng BPW, PCO, dan pemandu lokal
di program We Love Bali yang diadakan sepanjang Oktober-November 2020. Acara
ini mengundang semua blogger, vlogger, dan agen perjalanan untuk berpartisipasi
dengan cara mengirim mereka ke beberapa lokasi wisata dengan menunjukkan bahwa
pariwisata di Bali sudah siap menerima wisatawan baik domestik maupun
internasional, karena sudah menerapkan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan
Environmental Sustainable).
Gue sendiri bergabung di acara
yang cukup keren ini. Awalnya gue memilih program dengan rute perjalanan Nusa
Lembongan-Nusa Penida, tapi ternyata setelah melakukan pendaftaran dan memilih
program tersebut ternyata penuh kuotanya, jadi gue dialihkan ke program yang
lainnya. Tapi, jujur program yang lain itu gue ga sreg sama rutenya hehe, jadi
gue coba nego untuk at least yang ada kegiatan snorkelingnya lah. Dan, pucuk
dicinta ulampun tiba, salah satu peserta di program tersebut kasih informasi ke
gue kalau ada program dengan rute yang lain. Meskipun tidak ada aktifitas
snorkeling, tapi yang penting seimbang antara kegiatan di pantai, gunung, dan
lokasi yang lainnya. Iya akhirnya gue dapat program 11 dengan rute perjalanan Buleleng,
Kintamani, dan Bangli.
Kegiatan dilakukan selama 3 hari
2 malam (4-6 November 2020) dengan rute:
Hari Pertama:
1. Titik berkumpul di Pantai Matahari Terbit Sanur:
Di sini setelah melakukan pendaftaran ulang dan menyerahkan hasil rapid test negative
maka perjalanan dilanjutkan menuju ke...
2. The Bloom Garden
Ini adalah
sebuah taman bunga yang cukup besar dan terinspirasi dari Dubai Miracle Garden.
Lokasinya sendiri di daerah Bedugul, Bali Utara. Tempat wisata ini sangat
disarankan untuk keluarga.
3. Handara Golf
Bukan untuk
bermain golf, tapi hanya berfoto di pintu gerbang lapangan golf ini yang memang
cukup viral di media sosial.
4. Pura Ulun Danu Bratan
Entah sudah yang
keberapa kalinya gue ke sini, tapi yang pasti ketika bergabung dalam program We
Love Bali ini, inilah kali pertama gue masuk ke wilayah pura di masa pandemi yang
banyak sekali perubahan ketika berwisata sebelum pandemi. Bukan pura nya yang
berubah, tapi perilaku pengunjung serta tambahan fasitilitas nya yang berubah. Harus
cuci tangan dan ukur suhu tubuh di pintu masuk, dan selama di area pura tetap
mengenakan masker. Jadi Pura Ulun Danu ini dikenal juga dengan pura mengapung.
Karena kalau air danau tengah pasang, maka pura yang di sana terlihat seperti
mengapung, sehingga kalau mau masuk ke pura harus menggunakan perahu.
5. Air Terjun Banyumala
Akhirnya gue
kembali lagi untuk melihat air terjun yang cantik ini untuk yang kedua kalinya.
Iya sebelum bergabung dalam acara We Love Bali ini, gue sudah pernah ke sini sendirian.
Good to be back here again!
6. Buleleng
Di sini kita
menginap di Puri Bagus Lovina yang kerennya lagi, gue diupgrade ke kamar suite
dengan fasilitas yang pasti ukuran kamar jauh lebih luas dibanding kamar biasa,
ada bathtub, shower terpisah dengan konsep outdoor shower, dan kolam renang pribadi.
Ketiban duren gue di acara ini! Hehe. Oh ya, demi mengaplikasikan protokol
kesehatan khususnya “Jaga jarak” maka semua peserta mendapatkan masing-masing
satu kamar. Jadi kebayang kan, gue sendirian di kamar suite yang super gede itu
hehehe.
Hari Kedua:
1. Dolphins Watching
Subuh sebelum
jam 5 pagi sudah bangun dan bersiap-siap untuk melihat lumba-lumba. Karena
posisinya resort yang beachfront, jadi hanya melangkah beberapa jengkal menuju
ke pantai dan perahu-perahu kecil sudah menanti untuk mengantar semua peserta
melihat aksi lumba-lumba menyambut matahari terbit.
2. Museum Soenda Ketjil
Masih di daerah
Buleleng. Setelah chek out dari Puri Bagus Lovina, kita langsung mengarah ke
museum ini. Dan ini adalah museum pertama gue yang gue kunjungin selama di Bali
hehe
3. Pura Beji
Keunikan dari
pura ini terdapatnya relief yang menggambarkan seorang Belanda bermain gitar.
4. Pura Maduwe Karang
Pura ini dikenal
sebagai pura untuk umat Hindu Bali yang mengucap syukur atas rezeki yang mereka
dapat, baik dengan kenaikan pangkat, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,
dll.
5. Kintamani
Makan siang di
Puncak Sari, resto yang selalu atau yang hampir selalu dikunjungi oleh
wisatawan grup. Karena memang bagus dengan pemandangannya . Iya langsung
mengarah ke Gunung Batur dan Gunung Abang sekaligus Danau Batur.
6. Toya Devasya
Ini merupakan
pemandian air panas yang menyediakan water park dan penginapan ala campers/
hikers. Iya, jadi kita nginep di tenda, yang gue pikir bakal kemping beneran di
sebuah lapangan samping danau, tapi ternyata tenda sudah diset dan posisinya
ada di sebuah aula gitu deh. Jadi tepatnya untuk belajar kemping hehehe. Tapi
ternyata mereka mempunyai area kemping yang memang sudah dibangun seperti itu karena
ada permintaan dari beberapa pendaki gunung yang melakukan pendakian di daerah
situ.
Hari Ketiga:
1. Bersepeda di kawasan Kintamani dengan
pemandangan Gunung Batur. Jarak yang kita tempuh, info dari pemandu adalah 7 km
dengan medan medium. Sepeda sih emang bukan olah raga gue, tapi karena sudah
terbiasa dengan renang, jadinya ga kaget ketika dapat medan yang cukup bikin
keok khusunya buat mereka yang ga pernah olah raga hehehe. Iya ada beberapa
peserta yang baru mulai mengayuh dari garis start ternyata balik lagi hehe
2. Masih di Toya Devasya
Sebelum cek out
setelah bersepeda, kita semua sarapan danmelakukan aktifitas air di Danau Batur. Iya permainan air ini khusus
buat perserta yang memenangkan photography competition. Sedangkan pemenangnya
diumumkan pada saat makan malam di area kemping. Dan, gue salah satu yang
memenangkannya, eh menang 2 kategori ding! Yaitu di best video dan best photo.
Dan hadiahnya adalah tiket untuk bermain wahana air yang disediakan oleh Toya
Devasya. Jadi gue main Banana dan Donut Boat. Wah! Seru banget! Liat videonya
di YouTube gue ya!
3. Desa Penglipuran
Setelah check
out dari area kemping, maka kita semua menuju ke destinasi terakhir yaitu Desa
Penglipuran. Desa ini mendapatkan pengharagaan sebagai desa terbersih sedunia
di awal 2016. Keren banget ya! Dan emang ketika yang kedua kalinya gue ke sana
sama sekali ga menemukan sampah berserakan di rumah-rumah penduduknya. Dan di
sini kita dapat kesempatan untuk melihat proses pembuatan jamu Bali yang
berbahan dasar daun cemcem atau lebih dikenal dengan Kedondong Hutan. Gue
selama 4 tahun tinggal di Bali belum pernah minum ini, dan kali pertama gue
minum ya pas di acara We Love Bali ini. Ternyata rasanya asem seger, jadinya
gue suka banget! Dan setelahnya dilanjutkan untuk melihat proses anyaman. Yang
sayangnya gue ga dapat kesempatan itu, karena setelah melihat proses Loloh
Cemcem, gue diminta oleh ketua panitia acara untuk memberikan testimoni selama
kegiatan berlangsung . Dan itu langsung direkam oleh panitia ketika gue memberikan
testimoni itu. Wah! Dari sekian peserta terpilih 4 orang dan salah satunya itu
gue. Testimoni dari 4 orang yang terpilih ini langsung dikirim ke Kemenparekraf
sebagai penyelenggara acara. Tersanjung gue hehehe.
Dan perlu
diketahui, bahwa selama kegiatan berlangsung, baik peserta
dan panitia selalu menerapkan protokol kesehatan dengan cara tidak
melepas masker kecuali makan dan minum, selalu rajin mencuci tangan menggunakan
hand sanitizer, dan menggunakan sabun dan air mengalir ketika sampai di tempat
wisata. Iya semua tempat wisata yang kami kunjungi sudah menyediakan wastafel
dan pengecekan suhu tubuh. Jaga jarakpun diterapkan di dalam bus yang kita
naiki, tempat duduk yang seharusnya diisi untuk 2 penumpang, namun selama acara
hanya diisi masing-masing satu penumpang. Sedangkan tempat duduk paling
belakang yang biasanya bisa diisi 5 sampai 6 penumpang hanya diisi maksimal 3
orang saja.
Jadi, melalui
acara ini yang diharapkan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah kembalinya
perekonomian khususnya di bidang pariwisata. Karena dengan menerapkan protokol
kesehatan serta mematuhinya, maka tidak akan ada rasa khawatir berlebih selama
melakukan perjalanan. Semoga kondisi segera pulih dan pariwisata baik di Bali,
Indonesia, maupun global segera membaik.
Videonya juga boleh kok ditonton. Sekalian disubscribe ya yang belum, kalo yang udah thanks banget!
Dan, gue denger
dari salah satu staf kemenparekraf yang ikut di program kita, acara We Love
Bali ini akan segera berkembang ke pulau-pulau yang lain di Indonesia, seperti
Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dan Sumatera. Semoga sukses Kemenparekraf!
Mengunjungi sebuah pura merupakan
salah satu daftar bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Namun, tidak
semua pura yang menjadi tempat suci bagi umat Hindu mudah dikunjungi, hal
tersebut karena memang lokasinya yang bisa dibilang unik sehingga diperlukan
tenaga ektra untuk mencapainya.
Salah satunya adalah Pura Pucak
Mangu yang terletak di puncak Gunung Catur. Meskipun menjadi gunung tertinggi
ke-4 di Bali, tapi terdengar asing bagi penduduk Bali sendiri. Namun, ketika kita
bertanya tentang Pura Pucak Mangu, maka dengan senang hati mereka akan
memberikan petunjuk jalan untuk mencapainya.
Mengapa Pura Pucak Mangu lebih
terdengar akrab daripada Gunung Catur itu sendiri bagi orang Bali? Karena umat
Hindu di Bali percaya bahwa pura tersebut adalah salah satu Pura Kahyangan
Jagat dari sembilan pura yang tersebar di sembilan arah mata angin yang
bertujuan untuk meramalkan serangan jahat dari segala arah dan mengusirnya.
Pura Pucak Mangu ini dipercaya
sudah ada dari zaman megalitikum dengan bukti ditemukannya sebuah lingga besar.
Selain itu juga menjadi tempat bertapa seorang Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu yang kalah dalam peperangan. Setelah melakukan
tapa brata di Pura Pucak Mangu ini, dia mendapatkan ilmu baru sehingga kembali
berperang dan memenangkannya.
Sekitar 2 jam gue berkendara dari Bali Selatan sampai
di Desa Plaga, Petang. Daerah pegunungan yang masih masuk wilayah Badung ini
memiliki udara yang cukup segar, sehingga menjadi salah satu favorit bagi
pecinta alam. Secara tidak sengaja ini ngomongin gue sendiri, sih! hehe
Jalan nyantai banget, dan nyampe sini 3 jam berikutnya
Dengan ketinggian 2.096 dpl, diperlukan waktu sekitar 2-3 jam untuk mendaki dengan jalur yang cukup nyaman, karena
memang sudah terdapat jalur yang cukup jelas serta pepohonan yang cukup lebat,
dan sesekali akan disambut dengan kabut sehingga akan memberikan kesejukan
selama pendakian. Inilah salah satu yang menghambat gue selama mendaki, karena
banyak berhentinya untuk foto-foto hehe
Terdapat empat pos perhentian di
sini. Jalur di pos 1 dan 2 cukup bersahabat, namun, ketika memasuki pos 3 dan
4, maka jalur akan sedikit menantang, karena tanjakan semakin menjadi-jadi. Di
jalur menuju pos 3 sendiri akan melewati jalanan setapak bekas tanah longsor, jadi pastikan hati-hati banget
ketika melewatinya khususnya ketika hujan.
Memasuki jalur pos 4, tanjakan
semakin menggila. Namun, kalian akan disuguhi dengan pemandangan Desa Plaga
dari ketinggian yang tentu saja tidak boleh dilewatkan untuk diabadikan. Dengan
tanjakan yang cukup menantang tersebut, maka rasa lelah pendakian akan terbayar
ketika telah mencapai puncak yaitu dengan menikmati pemandangan Danau Bratan,
sedangkan di sisi timur kalian akan dimanjakan dengan pemandangan Gunung Batur
dan Gunung Abang, namun tentu saja ketika tidak berkabut. Sedangkan gue pas ke
sana pas lagi kabut, jadi wasalam, cuma liat kabut yang berseliweran di puncak
hehe
Secara keseluruhan untuk jalur
pendakian di Gunung Catur ini sangat disarankan bagi pendaki pemula, karena termasuk
bersahabat. Itu terbukti karena salah satu tim dalam pendakian ada seorang anak
berusia 11 tahun, Alan namanya. Dan dia berhasil mencapai puncak. He’s rock!
Ini dia yang namanya Alan. Dia berhasil naklukin Gunung Catur di pengalaman pertamanya!
Dan informasi tambahan, area
parkir di sini tidak dikenakan biaya. Toilet juga tersedia namun dikenakan
biaya sesuai penggunaan. Yang sangat disayangkan adalah, meskipun tersedia
tempat sampah, namun pengangkutan sampah tidak dilakukan secara berkala,
sehingga menumpuk bahkan luber. Begitupun ketika di Puncak Mangu tumpukan
sampah bekas pendaki maupun peziarah juga mengganggu pemandangan dan penciuman.
Jadi, tolong ya manteman, jangan nyampah! Bawa sampah kalian kembali khususnya
sampah plastik!
Untuk yang lebih suka lihat videonya juga bisa mampir ke sini ya. Eit! Jangan lupa subscribe ya untuk terus mendukung channel gue. Thanks! :)
Bali memang bisa menjadi tujuan
liburan dengan mengunjungi keindahan alamnya yang selalu menjadi favorit bagi
siapapun. Namun, di balik semua itu, apakah kalian tidak tertarik dengan
kehidupan sehari-hari masyarakat Bali?
Rumah Desa Balinese Home &
Cooking Studio menawarkan pengalaman untuk bisa melihat secara langsung
kehidupan masyarakat Bali. Tidak hanya sekedar melihat, namun, kita juga
berkesempatan untuk menginap sekaligus berinteraksi, dan merasakan secara
langsung kegiatan sehari-hari mereka.
Gue kali dapat kesempatan bersama tim Bali Prawara untuk mengunjungi Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio. Ketika memasuki gerbang area ini, kita akan diajak untuk tur mengelilingi rumah adat masyarakat Bali yang
dihuni oleh keluarga besar yang terdiri dari lebih dari 3 kepala keluarga dengan
ciri khasnya yaitu, terdiri dari Bale Dangin yang posisi selalu di timur.
Ruangan ini dibangun dengan konsep terbuka yang ditutup atap dan kelambu saja
yang diisi dengan 2 tempat tidur, tempat tidur yang satu berfungsi sebagai
tempat tidur yang digunakan oleh keluarga tertua, sedangkan di tempat tidur
sebelahnya diisi dengan peralatan upacara (Dari proses kelahiran, remaja,
pernikahan, sampai dengan kematian salah satu anggota keluarga). Untuk bangunan
yang bernama Bale Daje merupakan rumah tinggal yang dihuni oleh keluarga
lainnya. Sedangkan tidak jauh dari Bale Daje dan Dangin terdapat sanggah atau
pura keluarga yang dimana semua keluarga dapat menggunakannya untuk sembahyang.
Sedangkan di selatan dibangun sebuah dapur yang juga dapat digunakan oleh semua
keluarga. Halaman kosong selalu menjadi ciri khas rumah adat Bali di tengah
rumah-rumah kecil yang mengelilinginya, khusus untuk di daerah Baturiti ini
karena areanya agraris, sehingga dibangun sebuah rumah jineng/ lumbung untuk
menyimpan beras hasil panen. Rumah jineng ini dibangun bertingkat, untuk
penyimpanan beras sendiri terdapat di bagian atas, sedangkan di bagian bawah
dapat digunakan sebagai bale bengong atau ruang tamu untuk menyambut kehadiran
tamu maupun tempat untuk berkumpulnya keluarga untuk bercengkrama.
Selama berada di rumah adat Bali
ini, kita akan melihat secara langsung aktivitas sehari-hari penghuninya
yang alami. Seperti seorang kakek yang tengah duduk santai di bale bengong
sambil mengawasi ayam-ayam peliharaan, sedangkan seorang nenek tengah
menghaluskan boreh/ param kocok/ lulur dengan bahan-bahan tradisional seperti
beras, cengkeh, jahe, lengkuas, dan kunyit dengan menggunakan ulekan. Fungsi
dari boreh tersebut adalah untuk menghilangkan pusing dengan cara dioleskan di
dahi dan di belakang telinga bawah. Sedangkan untuk menghilangkan capai, maka
bahan yang sudah dihaluskan tersebut dapat dioleskan di kedua betis. Konsep
rumah adat Bali yang terbuka adalah, karena kelembapan cukup tinggi dan juga
berada di ring of fire, sehingga jika
terjadi gempa akibat erupsi gunung berapi, maka penduduk akan dengan mudah
untuk menyelamatkan diri keluar dari rumah.
Setelah mengenal filosofi rumah
adat Bali beserta dengan aktivitas penduduknya sehari-hari, maka tempat wisata yang
berlokasi di Baturiti, Tabanan, Bali ini juga memperkenalkan penulisan aksara
Bali yang ditulis atau lebih tepatnya diukir di atas daun lontar. Namun,
sebelum melihat proses penulisan aksara Bali, para pengunjung akan disuguhi
dengan welcome drink yang terbuat
dari teh bunga rosella yang dicampur dengan rempah-rempah khas Bali. Rasanya
cukup segar dan sedikit masam karena memang dari bunga rosella itu sendiri yang
mempunyai cita rasa masam. Tapi dipastikan minuman tersebut dapat menghilangkan
dahaga setelah berkeliling melihat rumah adat Bali.
Rumah Adat Bali yang digunakan untuk nulis Aksara Bali di Rumah Desa
Kembali ke proses penulisan
aksara Bali di daun lontar. Di sini langsung didemonstrasikan oleh pemilik Rumah
Desa Balinese Home & Cooking Studio yaitu Pak Wayan Sudiantara. Proses
penulisannya sendiri menggunakan sebuah pisau kecil yang digoreskan di atas
daun lontar. Sedangkan untuk menebalkan tulisan, penduduk setempat menggunakan
kemiri bakar sehingga tulisan terbaca lebih jelas. Dan tidak lupa, di sini juga
kita akan diberikan oleh-oleh berupa ukiran nama kita di daun lontar yang
ditambah dengan uang kepeng sebagai liontin sehingga bisa dijadikan sebuah
kalung yang dapat kita kenakan setelahnya.
Ini dia nama gue yang diukir di daun lontar menggunakan aksara Bali
Masih di area yang sama, kita akan merasakan kehangatan penduduk setempat dengan hidangan yang disajikan ala
rijsttafel sebelum melanjutkan tur di
area yang memiliki lahan seluas 40 are tersebut. Hidangan yang disajikan secara
rijsttafel tersebut terdiri dari nasi dengan beberapa kondimen seperti babi
kecap, tum ayam, sate ayam, bakwan jagung, terong basa genap, plecing daun
gingseng, ayam sambal bejeg, dan ayam betutu yang dipastikan dapat membuat kita (khususnys gue) ketagihan atau meminta resepnya untuk dimasak kembali di rumah. Namun, jangan
khawatir! Karena ternyata mereka juga menyediakan kelas memasak yang dapat
dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu.
“Kami juga memiliki cara
tersendiri untuk mencegah virus-virus yang akan menyerang kekebalan imun tubuh.
Dengan menggunakan cara tradisional yang dipercaya secara turun temurun. Adapun
cara yang dimaksud adalah dengan menggunakan Asepan atau kalau yang modern
adalah dupa. Sedangkan Asepan yang kami gunakan adalah jauh sebelum
ditemukannya dupa. Dan bahan-bahan yang digunakan antara lain tembakau, batang
kayu putih, bunga kemenyan, dupa dengan aroma sesuai selera yang kesemuanya
dibakar dan asapnya itulah yang kami percaya sebagai disinfektan alami. Ini
merupakan salah satu kearifan lokal yang harus kami pertahankan. Selain sebagai
disinfekatan alami, asepan ini juga dapat digunakan untuk upacara namun
bahan-bahan yang dibakar akan berbeda.” Ungkap Pak Wayan Sudiantara, Pemilik Rumah
Desa Balinese Home & Cooking Studio.
Selain itu, paket petualangan
juga disediakan oleh tempat wisata yang dibuka untuk umum dari tahun 2009
tersebut. Seperti bersepeda berkeliling desa, mengenal sistem irigasi sawah
yang masih dijalankan secara tradisional, menanam padi, trekking di persawahan,
dan belajar membuat minyak kelapa.
Pembuatan minyak kelapa sendiri
yang dilakukan oleh penduduk asli Rumah Desa Balinese Home & Cooking Studio
ini membutuhkan sekitar 5 buah kelapa untuk 660 ml. Prosesnya berawal dari
pengupasan kelapa yang dilakukan secara tradisional menggunakan batang kelapa
yang telah ditajamkan dan ditancapkan di batang kelapa yang lebih besar
sehingga berdiri tegak dan siap untuk mengupas kelapa yang dibutuhkan. Kemudian
diambil dagingnya, diparut, dan dicampur dengan air matang kemudian diperas di
atas wadah yang telah disiapkan. Kemudian didiamkan selama 24 jam di suhu
ruangan. Proses ini akan membuat minyak dan air terpisah. Ketika air dan minyak
sudah terpisah, maka bisa disaring untuk diambil minyaknya saja yang dapat
digunakan untuk memasak. Kegiatan pembuatan minyak kelapa ini biasanya
dilakukan oleh para orang tua yang sudah pensiun sebagai pengganti aktivitas
sehari-hari.
Trekking di persawahan juga salah
satu kegiatan menyenangkan lainnya yang ditawarkan oleh Rumah Desa ini. Dan di
jalur trekking sendiri, kita akan dengan mudah menemui pohon kopi. Menurut Pak I
Made Mendra Astawa selaku Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata Provinsi Bali, beliau
menjelaskan “Pohon kopi yang ada di sini adalah jenis Robusta yang
dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di mana biji-biji kopi ini merupakan
favorit bagi binatang luwak yang otomatis menjadi bahan makanan mereka dan
kotoran dari binatang luwak ini yang akan diproses menjadi kopi luwak dan
kemudian dipasarkan.”
Yoga pertama gue :D
Tempat wisata yang dapat ditempuh
selama satu jam perjalanan dari Denpasar ini juga menyediakan kelas yoga dan
meditasi. Selain itu, jika kalian ingin menyelenggarakan pesta pernikahan dengan
adat Bali, ulang tahun, gathering,
dan acara luar ruangan yang lainnya maka Rumah Desa Balinese Home & Cooking
Studio juga dapat menjadi pilihan.
Melukat/ Pembersihan diri di era baru di Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, Bali
September 2020 – Bulan September 2016 adalah awal gue pindah dari
Jakarta ke Bali, secara official, iya, literally gue pindah dari Jakarta ke
Bali. Meskipun secara kependudukan gue masih Jakarta, tapi kalau tempat tinggal
dan pekerjaan gue sudah sah di Bali. Dan, selama kurun waktu itu gue sudah
menjelajahi setiap sudut Pulau Dewata ini. Yakin sudah setiap sudut? Iya, gue
yakin untuk tempat-tempat wisatanya, tapi kalau untuk tradisi dan budaya nya
yang gue masih minim hehehe.
Betul sekali, jadi selama kurun
waktu empat tahun gue belum pernah lihat secara langsung proses pembersihan
diri yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali ini. Dan, kesempatan itu akhirnya datang
juga, karena kebetulan salah satu teman dari Jakarta yang sudah tinggal lebih
lama di Bali dibanding gue, dia mau melakukan proses pembersihan diri yang dia
sendiri mengaku kalau ini bukanlah hal yang pertama dia lakukan selama tinggal
di Bali.
Singkat cerita, akhirnya gue dan teman
gue, berangkat menuju ke Tampaksiring untuk mengantar teman gue yang mau
bergabung dalam proses pembersihan diri ala umat Hindu, Bali yang juga pastinya
ditemani oleh salah satu teman kita yang asli orang Bali.
Perjalanan kita tempuh sekitar
satu jam dari Denpasar dengan kondisi jalanan yang masih cukup sepi di new
normal ini. Sedangkan lokasi yang kita tuju adalah Tirta Empul yang berlokasi
di Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Sepanjang perjalanan, teman kita
yang asli orang Bali sedikit banyak bercerita mengenai melukat atau proses
pembersihan diri yang dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu di Bali.
Jadi, untuk proses melukat sendiri dapat dilakukan di beberapa tempat yang
memang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh pandita, seorang pemuka agama Hindu
yang telah mendapat wangsit akan sebuah tempat yang dapat disucikan untuk
persembahyangan. Jadi, selain Tirta Empul, masih banyak lagi tempat-tempat yang
bisa digunakan untuk melukat bagi umat Hindu di Bali. Sedangkan untuk proses
melukat sendiri akan sangat disarankan dilakukan setiap bulan purnama, yang
artinya dapat dilakukan setiap bulan.
Canang/ sesajen yang dipersembahkan oleh peziarah yang hendak melukat
Melukat atau proses pembersihan
diri ini dapat dilakukan secara mandiri atau dipimpin oleh seorang pandita.
Sedangkan untuk teman gue kali ini dia akan melakukan secara mandiri dengan
bantuan dari teman yang asli orang Bali.
Tirta Empul sendiri berarti
Sumber Mata Air Suci yang diambil dari sumber mata air yang terletak di dalam
pura. Sumber tersebut mengalir ke beberapa kolam untuk proses melukat dan ke
kolam ikan yang mengelilingi parimeter luar pura, serta mengalir ke sungai
Tukad Pakerisan.
Terdapat tiga kolam yang
masing-masing terdiri dari 13 pancuran, 2 pancuran, dan 6 pancuran. Yang
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda bagi setiap orang yang datang untuk
melukat. 13 pancuran yang pertama adalah dipercaya untuk memberikan keselamatan
bagi umat Hindu yang akan bepergian jauh (bekerja di luar Bali atau luar
Indonesia), supaya diberikan kesehatan, keselamatan, rezeki, dan juga masalah
perjodohan. Kolam yang memiliki dua pancuran dipercaya untuk membersihkan diri
dari kutukan serta bawaan buruk lahir seseorang. Sedangkan kolam ketiga yang
memiliki 6 pancuran dipercaya untuk bisa membersihkan diri dari ilmu hitam,
aura mistis, dan dapat membersihkan diri dari penyakit berat yang secara medis
tidak dapat diobati.
Salah satu kolam yang berisi 2 pancuran untuk melukat
Di era tatanan baru ini, area
yang masih satu lokasi dengan Istana Tampaksiring yang dibangun oleh Presiden
Pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah menerapkan protokol kesehatan
dengan menyediakan tempat cuci tangan di pintu masuk serta wastafel lainnya
yang mudah ditemukan di beberapa sudut lokasi. Sedangkan stiker yang bermaksud
memperingkatkan para pengunjung atau jemaat yang hendak beribadah juga telah
diterapkan di sana sehingga proses jaga jarak juga harus dipatuhi selama berada
di dalam area. Selain kolam untuk penyucian diri, area ini juga dilengkapi
dengan sebuah Pura yang dikenal dengan Pura Tirta Empul. Para pengunjung yang
hanya ingin sekedar melihat-lihat keindahan pura ini juga diperbolehkan dengan
mematuhi peraturan yang ada, yaitu dengan mengenakan kamen atau sarung yang
telah disediakan di pintu masuk (gratis), serta mematuhi batas-batas yang cukup
jelas di area pura.
Salah satu kolam yang berisi 6 pancuran untuk melukat
Di awal lockdown karena pandemi,
area Tirta Empul ini tidak melayani publik selama 3 bulan pertama, dan baru
dibuka untuk umum pada Juni 2020.
Tiket masuk bagi para pengunjung
yang hendak berwisata atau melihat proses melukat akan dikenakan biaya sebesar
Rp 30.000 per orang. Sedangkan bagi yang hendak melakukan proses penyucian diri
dan sembahyang, maka tidak dikenakan biaya sama sekali. Sangat disarankan untuk
membawa baju ganti serta handuk sendiri, dikarenakan area ini tidak menawarkan
penyewaan handuk. Loker dan toilet juga tersedia di lokasi yang dapat digunakan
oleh peserta yang melakukan melukat.
Untuk video lebih detail bisa cek di youtube gue ya. Yang udah subscribe terima kasih banyak, yang belum sila klik ya :)
September 2020 – Jujur seneng banget selama new normal ini akhirnya sudah bisa ngebolang lagi meskipun masih di
sekitaran pulau. Kali ini gue dapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu
Monkey Forest yang ada di daerah Tabanan, Bali. Kalau dari Denpasar sekitar 35
km, jadi kurang lebih berkendara sekitar 40 menitan.
Awalnya gue kurang minat sih
ketika diajakin sama tim Bali Prawara untuk ke lokasi. Karena gue pikir namanya
Monkey Forest ya gitu-gitu aja pasti sama ama yang di Sangeh dan Ubud. Tapi
ternyata masuknya gratis dan ada wahananya juga. Jadi selain bisa bercengkrama dengan
teman-teman kita yang imut dan cerdas yang juga kadang usil, akhirnya bisa
menghabiskan akhir pekan di Alas Kedaton, Tabanan, Bali dengan beberapa
permainan yang sedikit adu nyali.
Jadi, luas area di Alas Kedaton
ini secara keseluruhan adalah 12 hektar. 6 hektarnya itu adalah hutan lindung,
sedangkan 6 hektar sisanya terdiri dari sebuah pura, jalur trekking yang bisa
buat jogging, bersepeda, maupun hanya sekedar jalan santai bersama keluarga.
Selain itu terdapat juga 202 warung makanan dan toko souvenir. Namun, sayangnya
kesemua toko dan warung itu saat ini belum ada yang beroperasi. Kalau dihitung
sudah sekitar 6 bulan mereka belum bisa berjualan kembali, karena memang
kondisi pandemi ini. Cukup sedih ketika mengetahui keadaan yang sebenarnya, dan
dapat info dari petugas Alas Kedaton, mereka yang biasanya berjualan di toko
dan warung-warung itu saat ini bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, dll
demi untuk melangsungkan perekonomian keluarga. Semoga semuanya segera pulih,
amin!
Kebetulan juga selama di Alas
Kedaton, gue dan tim Bali Prawara berkesempatan untuk bertemu dan ngobrol
langsung dengan Perbekel Desa Kukuh yaitu Bapak I Made Sugianto. Beliau
menginformasikan bahwa, wahana yang baru saja diluncurkan untuk umum pada awal
Agustus lalu itu antara lain; Flying Fox dengan ketinggian 3 meter dan panjang
70 meter. Dengan ketinggian dan panjang yang tidak terlalu ektrim tersebut
beliau berharap dapat digunakan oleh keluarga, baik dari anak-anak sampai orang
tua. Sedangkan wahana yang kedua adalah sky/ air bike. Wahana yang ketiga dan
yang paling banyak menjadi favorit pengunjung adalah ayunan tradisional Bali.
“Di tahun 90-an, Alas Kedaton ini terkenal dengan ayunan tradisional nya,
karena hal tersebut kami berinisiatif untuk membangun kembali ayunan yang sama
persis ketika di tahun 90-an sehingga bisa memberikan memori tersendiri bagi
para pengunjung. Untuk mencoba ketiga wahana tersebut, para pengunjung tidak
perlu khawatir merogoh kantung sampai dalam, karena kami hanya memasang harga
Rp 20.000 per orang. Harga yang cukup terjangkau bagi para warga yang ingin
berekreasi di tengah pandemi.” Ucap Bapak I Made Sugianto, Perbekel Desa Kukuh,
Tabanan, Bali.
Ini gue sama Pak Sugianto selaku Perbekel Desa Kukuh, Tabanan Bali
Di lokasi syuting ternyata ketemu dengan Youtuber dari Pelangi Bali (3 orang di kanan)
Si Bapak Sugianto ini ternyata aktif juga lho sebagai seorang Youtuber. Channelnya di Satua Bali Channel
Selain wahana tersebut, kalian
juga bisa melihat secara langsung kalong raksasa. Meskipun binatang malam ini
termasuk liar, namun di kawasan Alas Kedaton ini sudah cukup jinak bahkan para
pengunjung juga dapat berinteraksi secara langsung dengan kalong-kalong
tersebut namun dengan arahan dari petugas.
Ini temen baru gue, namanya Miki si Kalong hehehe
Meskipun kegiatan luar ruang,
namun Monkey Forest yang berlokasi di Tabanan, Bali ini tetap menerapkan
protokol kesehatan bagi pengunjungnya. Mereka menyediakan wastafel yang
hands-free dan mudah ditemukan di beberapa titik.
Perlu diketahui, bahwa kera-kera
di sini tidak seagresif di tempat lain. Mereka tidak akan dengan mudah merampas
barang-barang bawaan pengunjung, namun demi kenyamanan dan keamanan, maka pastikan
kalian tetap menjaga barang bawaan dengan sangat hati-hati, ya.
Ini sebenernya sempet gue video-in pas dia nyalain air kerannya, tapi ternyata ga kepencet tombol rekamnya :D
Di era tatanan baru ini, area
yang dihuni oleh sekitar 1.400 kera ini dibuka untuk umum khusus di akhir pekan
dan libur nasional saja. Jadi, buat yang ada di Bali, pastikan akhir pekan ini
dapat berkunjung bersama keluarga tercinta, sedangkan kalian yang di luar Bali
dan akan segera berkunjung ke Pulau Dewata ini, jangan sampai ga dimasukkan ke
daftar kunjungan ya!
Untuk lebih detailnya sila tonton video gue di youtube ini ya. Jangan lupa subscribe buat yang belum. Kalo yang sudah subscribe, terima kasih banyaaaaak! :)
Kemanapun lo melangkah, please,
jangan ninggalin sampah!